Fenomena penolakan sosial teman sebaya sering terjadi
di kalangan remaja. Fenomena yang belum lama ini terjadi adalah kaburnya NF (14
tahun), siswi kelas IX SMP (“SMP Al-Jannah,” 2015). NF mengaku bahwa dirinya
memutuskan untuk kabur dari rumah selama 6 hari karena merasa di-bully oleh teman-temannya. Fenomena lain
adalah kasus kekerasan yang dialami JCS (10 tahun), siswa kelas IV SD
Pringsurat 1, Temanggung, Jawa Tengah (Video “Bullying”, 2014). JCS mengaku
bahwa dirinya dipukul, dijambak, kepalanya dibentur-benturkan di tembok, dan
kakinya diseret oleh beberapa kakak kelasnya. Selain itu, ada juga fenomena
kekerasan yang dilakukan sejumlah siswa SD Trisula Perwari Bukittinggi terhadap
DNA (“Pelaku Bullying,” 2014). O
teman korban, mengaku bahwa beberapa teman laki-lakinya memukuli DNA di sudut
ruangan kelas. O juga menjelaskan bahwa saat itu DNA terlihat menangis, tetapi
tidak ada satu pun teman yang berusaha menolongnya. Sebaliknya, teman-teman
lain tampak tersenyum lebar. Fenomena lain adalah kekerasan yang menyebabkan
ACI siswa kelas X SMA Negeri 3 Setiabudi Jakarta Selatan meninggal dunia
(“Kasus Bullying,” 2014). ACI
meninggal dunia setelah mengalami kekerasan oleh DW, PM, AM, KR, dan PU. Kelima
orang tersebut melakukan kekerasan kepada ACI pada saat kegiatan pembekalan
anggota baru pecinta alam SMA N 3 di Tangkuban Perahu, Jawa Barat, 12-19 Juni
2014. Itulah fenomena penolakan sosial oleh teman sebaya yang terjadi di
Indonesia. Fenomena-fenomena tersebut hanya sebagian dari banyaknya kasus
penolakan sosial di kalangan remaja.
Fenomena penolakan sosial di kalangan remaja tersebut
mendapatkan perhatian dari beberapa lembaga terkait, yaitu Kementerian Sosial,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS), UNICEF Indonesia, dan Child Protection Program Manager Plan
Indonesia (CPPMPI). Pada tahun 2006, BPS mencatat kasus kekerasan pada anak
mencapai 25 juta dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai yang
berat. Pada tahun 2009, BPS dan kepolisian mencatat dari seluruh laporan kasus
kekerasan, 30% dilakukan oleh anak-anak dan terjadi di lingkungan sekolah. Pada
tahun 2011, CPPMPI melakukan survei tentang perilaku kekerasan di sekolah.
Survei ini dilakukan di Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, dan Bogor, dengan
melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru. Hasilnya adalah 67,9% responden
menganggap terjadi kekerasan di lingkungan sekolah, yang berupa kekerasan
verbal, psikologis, dan fisik, serta dilakukan oleh teman, kakak kelas, adik
kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. Selain itu, siswa
yang mengaku ikut melakukan kekerasan sebanyak 27,9%, sedangkan 25,4% siswa
mengambil sikap diam saat melihat kekerasan. Pada tahun 2013, Kemsos, BPS,
UNICEF Indonesia, dan beberapa lembaga terkait melakukan Survei Kekerasan
Terhadap Anak (SKTA). Survei ini dilakukan di 25 provinsi, 108 kabupaten, dan
125 Kecamatan. Responden dalam survei ini dibagi menjadi 2, yaitu kelompok usia
18-24 tahun yang mengalami kekerasan sebelum usia 18 tahun dan kelompok usia
13-17 tahun yang mengalami kekerasan dalam 12 bulan terakhir. Hasilnya adalah
19.331.432 responden (hasil penjumlahan 2 kelompok usia) mengaku mengalami
kekerasan, baik fisik, seksual, maupun emosional. Survei penolakan sosial dari
tahun 2006 sampai dengan 2013 tersebut menunjukkan secara konkret eksistensi
dari kasus penolakan sosial di kalangan remaja.
Masa remaja merupakan periode yang sangat rentan,
tetapi sekaligus sebagai periode yang penuh dengan kesempatan (Brooks, 2011). Seorang
remaja merasa stress karena mengalami banyak perubahan dalam dirinya (perubahan
fisik, lingkungan sosial, dan psikologis), namun di sisi lain pemikiran mereka menjadi
semakin dewasa dan berani untuk melibatkan diri dalam kegiatan bersama
teman-temannya. Dukungan emosional dari orang-orang terdekat (significant others), menjadi hal yang penting
untuk diperhatikan sehingga mereka dapat menerima dirinya dan lingkungan
sosialnya. Remaja menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkumpul bersama
teman-teman sebayanya. Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok. Di dalam
kelompok mereka mulai merasa aman, memiliki rasa kebersamaan, saling belajar
dan mengarahkan, serta terus menerus menggali dirinya (Brooks, 2011). Kegiatan
kelompok inilah yang mampu membentuk identitas diri remaja secara stabil.
Permasalahannya adalah tidak semua remaja menerima dan diterima kelompoknya. Tidak
sedikit dari mereka yang ditolak oleh kelompoknya.
Jika dilihat menggunakan teori psikologi, fenomena penolakan
sosial diartikan sebagai keadaan di mana seorang individu sengaja dikeluarkan
dari hubungan sosial atau interaksi sosial (Hurlock, 1993). Penolakan sosial
ini biasanya melibatkan seseorang yang menjadi korban dan satu atau sekelompok orang
yang menolak keberadaan korban.
Menurut Bierman, Boivin,
Begin, Hymel, dan Rubin (1989) penolakan sosial didefinisikan sebagai keadaan
dimana seorang individu secara aktif tidak disukai oleh sebagian besar teman
sebayanya. Bierman et al. (1989) juga menambahkan bahwa penolakan sosial mungkin
terjadi ketika seorang individu pertama kali menjumpai multikulturalisme dan
juga keberagaman. Di Indonesia hal ini terjadi di usia remaja awal (awal SMP) sampai
dengan remaja akhir (akhir SMA). Di kalangan remaja, ada
berbagai macam faktor yang membuat seorang remaja ditolak (Mappiare, 1982;
Hurlock, 1993), yaitu : (1)
kurangnya kematangan dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan
diri, dan kebijaksanaan; (2)
kemampuan berfikir yang rendah; (3)
sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti egoisme, keras kepala,
gelisah, dan mudah marah; (4)
sikap seseorang seperti suka melanggar norma dan nilai-nilai kelompok, suka
menguasai anak lain, curiga, dan suka melaksanakan kemauan sendiri; (5) terkenal sebagai pribadi yang
tidak sportif; dan (6)
perilaku seperti suka menonjolkan diri, mengganggu, menggertak orang lain,
senang memerintah, tidak dapat bekerja sama, dan kurang bijaksana. Selain itu,
Mas dan Witanto (2005)
juga menemukan bahwa etnis dan budaya juga merupakan faktor yang
membuat seorang remaja ditolak
oleh lingkungan sosialnya. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Garris et al.
(2011) yang menemukan bahwa orang Barat memiliki budaya independen, sedangkan
orang Timur memiliki budaya interdependen atau kolektif. Penolakan sosial
memiliki konsekuensi yang cukup signifikan bagi individu yang mengalaminya
(Garris et al., 2011). Garris et al. (2011) membagi konsekuensi tersebut
menjadi 3, yaitu : afek, kebutuhan manusia, dan perilaku antisosial dan
prososial. Pertama konsekuensi yang berupa afek. Penolakan sosial membuat
korban merasa buruk. Korban merasa mengalami penurunan afek positif dan peningkatan
afek negatif. Kedua adalah konsekuensi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia.
Penolakan sosial membuat korban tidak bisa memenuhi 4 kebutuhan dasarnya, yaitu
: kebersamaan (belonging), penghargaan
diri (self-esteem), kontrol, dan juga
keberadaan yang berarti (meaningful
existence). Ketiga adalah konsekuensi yang berkaitan dengan perilaku
antisosial dan prososial. Penolakan sosial mampu meningkatkan agresi dalam diri
korban, baik fisik maupun non-fisik. Hal ini mereduksi kemampuan korban dalam
meregulasi dirinya. Sehingga korban lebih berperilaku berdasarkan insting dan
lebih agresif (Baumeister et al., 2005 dalam Garris, 2011).
Berikut ini adalah sejumlah penelitian lain yang
dihubungkan dengan topik penolakan sosial. Artemis, G. & Touloumakos, A. K.
(2014) menemukan bahwa penerimaan keluarga memperkecil kemungkinan terjadinya
penolakan sosial di kemudian hari. Sebaliknya, penolakan sosial dari keluarga
mampu memperbesar kemungkinan terjadinya penolakan sosial di kemudian hari.
Greenman, P.S., Schneider, B. H., & Tomada, G. (2009) menemukan bahwa
kemampuan menyesuaikan diri yang buruk terhadap sekolah berkorelasi dengan
penolakan sosial. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa remaja yang ditolak
oleh teman sebayanya menunjukkan performansi akademik yang tidak baik.
Sebaliknya, remaja yang diterima oleh teman sebayanya lebih menunjukkan
performansi akademik yang baik. Kang, S.K. & Inzlicht, M. (2012) menemukan
bahwa mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang penolakan sosial sangat
penting untuk perkembangan anak. Penelitian ini menjelaskan bahwa seorang anak
mampu mengerti dan memahami penolakan sosial melalui pengalaman langsung dan
juga instruksi eksternal. Penelitian ini menguji perbedaan antara anak yang
berusia lebih muda dengan anak yang berusia lebih tua dalam memahami fenomena
penolakan sosial. Hasilnya ditemukan bahwa anak yang lebih muda lebih memahami penolakan
sosial melalui instruksi-instruksi, sedangkan anak yang lebih tua lebih
memahami penolakan sosial jika dirinya mempunyai pengalaman langsung dengan
fenomena penolakan sosial. Umasugi (in
press) menemukan bahwa regulasi emosi dan religiusitas memiliki korelasi
negatif dengan penolakan sosial. Artinya semakin tinggi regulasi emosi dan
religiusitas maka semakin rendah penolakan sosial yang mungkin dialami. Selain
itu, regulasi emosi juga menjadi prediktor utama untuk mengurangi kemungkinan
penolakan di kemudian hari. Adiratna, R. (in
press) menemukan bahwa penolakan sosial berhubungan dengan kecenderungan
neurotik korbannya. Selain itu, kecenderungan neurotik menghindari orang lain
dan melawan orang lain mampu menjadi prediktor ketidakberdayaan di kemudian
hari. Di dalam penelitian-penelitian tersebut muncul 3 persoalan yang belum terselesaikan,
yaitu : (1) masih banyaknya fenomena penolakan sosial, khususnya pada remaja;
(2) dampak dari fenomena ini cukup beragam, bahkan cukup sulit diprediksi; (3)
berbagai macam upaya dan pendekatan yang dilakukan masih belum efektif.
Peneliti kemudian mencoba merangkum defisiensi atau
celah dalam penelitian-penelitian sebelumnya mengenai topik penolakan sosial. Penelitian
sebelumnya lebih banyak menggunakan studi kuantitatif. Hal ini cukup membatasi
respon-respon subjektif yang kemungkinan muncul. Selain itu, penelitian
sebelumnya juga melihat penolakan sosial dari perilaku dan respon yang tampak (overt) dari subjek. Hal ini sangat
memungkinkan terjadinya bias ketika subjek merasa sensitif dengan isu tertentu
yang disajikan. Penelitian sebelumnya juga secara tidak langsung membatasi
fenomena penolakan sosial. Hal ini disebabkan karena penelitian terbatas pada
hubungan dua atau lebih variabel yang ditentukan peneliti.
Selain itu, penelitian
sebelumnya sebagian besar memiliki kecenderungan untuk membuat generalisasi pada
pengalaman penolakan yang dialami subjek, padahal menurut Fankl (1962, dalam
Schultz, 1991) masing-masing pengalaman dan maknanya adalah unik, tidak sama
satu dengan yang lainnya, sehingga tidak bisa digeneralisasikan.
Berikut ini adalah cara peneliti dalam mengatasi
defisiensi tersebut : (1) penelitian ini menggunakan pendekatan yang lebih
personal (wawancara fokus grup) bukan general; (2) penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan sudut pandang subjek bukan peneliti, sehingga mampu
meminimalisir terjadinya bias; (3) penelitian ini juga tidak membatasi
pembahasan subjek tentang pengalaman penolakan yang dialaminya; (4) penelitian
ini mampu untuk melihat respon tampak dan tidak tampak dari subjek melalui
observasi dan wawancara. Peneliti memakai penelitian yang dilakukan oleh Lim,
J. T. & Gan, L. (2012) yang berjudul Peer
Rejection in Preschool: Foregrounding Children’s Voices sebagai sumber
acuan yang utama. Penelitian tersebut memandang fenomena penolakan sosial
secara lebih personal, yaitu menggunakan sudut pandang korban. Penelitian ini
mencoba untuk melihat persepsi subjektif seorang anak terhadap fenomena
penolakan sosial yang dialami di sekolah melalui gambar dan narasi. Hasilnya
menunjukkan bahwa seorang anak mampu mengidentifikasi dan menilai pengalaman
penolakan sosialnya melalui atribusi, mekanisme coping, dan dampak dari penolakan sosial Penelitian tersebut
menggunakan studi kualitatif (wawancara mendalam). Penelitian tersebut diyakini
peneliti cukup mampu untuk mengungkap cara subjek memaknai fenomena penolakan
sosial.
Pengalaman
penolakan sosial diyakini peneliti sebagai peristiwa yang traumatis, yang
ketika dibiarkan begitu saja akan menghambat tugas perkembangan dari korbannya.
Oleh karena itu, pengalaman penolakan sosial perlu dimaknai secara personal
oleh korban. Pendekatan yang cukup mendalam dan sangat personal tentang
kebermaknaan dalam hidup adalah “Logotherapy”
milik Victor Frankl. Victor Frankl (1962) mengemukakan bahwa pengalaman yang
bahkan sangat traumatis sekalipun, tidak akan menghambat perkembangan diri individu,
ketika individu tersebut memiliki kemauan untuk menemukan arti (Schultz, 1991).
Beberapa ilmuan menjelaskan bahwa banyak makna yang bisa individu peroleh dari
kehidupan, bagi Frankl bukan makna hidup yang menjadi tujuan akhir tetapi
kemauan individu untuk selalu menemukan arti dalam hidupnya. Makna hidup
menurut Frankl adalah hasil samping yang akan diperoleh individu, ketika
dirinya memiliki kemauan untuk menemukan arti dalam hidupnya. Selain itu, Frankl
juga memandang kehidupan sebagai kesempatan yang sangat berharga. Menurut
Frankl kemauan untuk terus menemukan arti adalah alasan manusia untuk hidup,
tanpa hal itu tidak ada alasan untuk tetap hidup. Keadaan dimana individu tidak
memiliki arti, tanpa maksud, tanpa tujuan, dan hampa, Frankl sebut sebagai noƶgenic neurosis. Menurut Frankl arti
kehidupan bersifat khas (istimewa) atau unik bagi setiap individu. Oleh karena
itu, setiap individu memiliki tugas untuk menemukan sendiri arti dalam
kehidupannya masing-masing. Ketika individu sudah mampu untuk selalu menemukan
arti dari setiap pengalaman hidupnya, baik pengalaman yang menyenangkan maupun
pengalaman yang sangat traumatis sekalipun, maka individu tersebut telah
mencapai keadaan transendensi diri. Keadaan ini Frankl jelaskan sebagai keadaan
terakhir untuk kepribadian yang sehat.
Pandangan yang sangat personal dan mendalam dari
Victor Frankl tentang makna kehidupan tersebut, peneliti yakini sebagai fokus
dalam penelitian ini. Peneliti meyakini melalui metode wawancara fokus grup,
subjek mendapatkan dukungan untuk menemukan arti dari pengalaman penolakan
sosial yang dialaminya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar